Sebuah Kesempatan – Allah Sungguh Mengetahui Apa yang Terbaik untuk HambaNya

Saat ini saya sedang berada di Pesawat Air Asia tujuan Haneda Jepang yang berangkat dari bandara Internasional Kuala Lumpur. Udara begitu dingin karena sepertinya AC yang digunakan menggunakan suhu rendah dikarenakan cuaca yang panas diluar pesawat. Ya benar, saat ini Jepang berada di musim panas. Sebelah tempat duduk saya sepertinya orang Australia. Saya hanya menebak belum sempat berani untuk menanyakannya. Okay tidak terlalu penting, intinya saya menulis ini adalah tujuan ingin menceritakan beberapa kisah sebelum keberangkatan saya ke Jepang.

Mimpi untuk keluar negeri adalah impian saya sejak kecil, dan puncaknya saat saya menduduki kelas 2 SMA. Saat itu saya tinggal satu langkah lagi untuk keluar negeri, yaitu ketika saya dinyatakan lulus seleksi YES (Youth Exchange Study). Terdapat 3 tahap seleksi YES –kala itu yang saya ikuti cabang Palembang –dan saya lulus semuanya, hingga terdapat surat yang menyatakan saya dan 4 teman saya berhasil lolos seleksi. Sungguh syukur sangat saya panjatkan atas Rahmat yang diberikan Allah kala itu. Betapa tidak setelah kira-kira mengikuti tes pengetahuan umum yang jika saya tidak salah pendaftar mencapai ribuan siswa, kemudian hanya seglintir yang lolos ke tahap selanjutnya interview bahasa Inggris hingga akhirnya hanya puluhan siswa yang bisa menuai hasil kegigihan dalam tahap wawancara akhir bersama orang tua. Baru setelah itu para peserta perlu menunggu beberapa bulan dahulu dan surat pernyataan diterima di program YES tersebut keluar.

Dikarenakan saya menjalani kelas akselerasi, biasanya Negara tujuan exchange adalah Eropa. Itu hasil ngobrol dari kakak-kakak kelas aksel para grantee YES sebelumnya. Intinya setelah berhasil lolos dari 3 tahap seleksi tersebut, kami tinggal mengisi beberapa formulir untuk pencarian Host Family atau keluarga yang bersedia menampung kita di luar negeri selama satu tahun penuh. Disinilah tahap yang saya tidak berhasil melangkahinya.

Sebenarnya jika tahap ini saya berhasil, maka sudah dipastikan setelah lulus SMA saya akan menjadi exchange student ke Eropa. Namun memang Allah berkata lain. Datang surat dari YES yang menyatakan bahwa saya masih belum beruntung. Mereka sudah mengusahakan semaksimal mungkin, tapi memang karena beberapa alasan beberapa dari kami yang lolos seleksi tidak mendapatkan Hostfam untuk di Eropa nanti. Salah satu nya adalah saya.

Entah bagaimana perasaan saya ketika menerima surat dari Bina Antar Budaya –yang waktu itu langsung dikirim ke alamat rumah saya –menyatakan bahwa kesempatan untuk menuntut ilmu di luar negeri belum bisa saya dapatkan. Pernyataan lain surat bahwa saya masih diterima di keluarga besar bina antar budaya Indonesia pun masih belum bisa menimpa rasa kekecewaan kala itu. Tetap saya yakinkah dalam hati, Allah punya rencana lain.

“Allah menghilangkan sesuatu dari tangan tangan kita bukan berarti untuk mengambilnya, namun agar tangan kita kosong sehingga dapat menggenggam sesuatu yang lebih besar”

Sebenarnya masih ada kesempatan lain yang bisa mungkin punya nilai harap cukup besar. Yaitu biasanya di pengalaman-pengalaman tahun sebelumnya, murid-murid yang tidak lolos seleksi YES akan dialihkan ke program Jenesys yaitu pertukaran pelajar ke Jepang selama 1 minggu. Namun mungkin memang belum saatnya saya ke luar negeri, yang mendapatkan kesempatan untuk ikut program Jenesys tersebut hanya 1 dari kami berlima. Dan itu bukan saya. Tidak masalah. Kata-kata bahwa Allah tahu yang terbaik akan selalu saya benamkan di dalam hati saya.

Melanjutkan kehidupan perkuliahan

Lulus SMA saya melanjutkan studi di teknik Elektro ITB. Saat itu saya sungguh terobsesi untuk pergi keluar negeri, khususnya dengan jalur beasiswa (atau full funded). Namun saya memiliki kesalahan pola pikir yaitu tujuan saya ingin keluar negeri adalah untuk sebatas terlihat keren saja. Tidak ada tujuan lain. Saya ingat waktu itu saya benar-benar menanamkan ke dalam hati dan tertulis dalam setiap resolusi tahunan bahwa saya harus ke luar negeri gratis, tanpa membebani orang tua. Meskipun itu hanya sekedar Malaysia, Singapura, Philipina atau Timor Leste sekalipun itu tidak masalah, asal  tadi tidak memberatkan orang tua.

Saya juga menargetkan bahwa Negara pertama yang saya kunjungi harus dengan beasiswa atau disponsori perusahaan. Intinya saya tidak ingin membuat passport pertama saya untuk keluar negeri dengan uang orang tua ataupun uang sendiri. Setelah saya mencapai itu, entah di kunjungan ke luar negeri saya yang kedua atau yang ketiga, saya menggunakan uang sendiri, itu tidak masalah. Asalkan untuk perdana saya full funded! Itu mengapa beberapa tawaran teman saya untuk mengajak backpacking –ke Singapura misalnya –saya senantiasa tolak, karena sudah bulat saya membuat passport pertama harus karena beasiswa.

Namun alasan saya untuk keluar negeri dengan beasiswa masih terlalu dangkal yaitu supaya terlihat keren. Dan sepertinya Allah mengetahui hal tersebut. Banyak beasiwa-beasiswa, conference, summer program dll yang saya apply ditolak. Ada yang sempat diterima namun tidak didanai. Intinya kesempatan-kesempatan selalu lewat dan saya tidak pernah mencapai mimpi saya untuk bisa ke luar negeri.

Awal perubahan Pola Pikir

Satu setengah tahun saya menjalani perkuliahan dan kegiatan mahasiswa di kampus gajah ganesha (nama lain ITB, red) saya mempelajari banyak hal. Saya tergabung di organiasasi kemahasiswaan seperti kabinet KM ITB, unit kegiatan mahasiswa, himpunan, dsb. Saya juga turut berperan aktif dalam setiap kaderisasi yang diberikan oleh kakak kelas saya. Dari situ saya sadar bahwa sebenarnya apa yang Negara butuhkan dari mahasiswa.

Puncak perubahan pola pikir saya adalah ketika saya mengikuti Diklat Aktivis Terpusat (DAT). Dalam DAT kami peserta benar-benar dibukakan pintu pengetahuan mengenai kondisi bangsa saat ini. Dari situ saya sadar bahwa Negara, tepatnya masyrakat tidak butuh pemuda yang apatis dan opportunis. Yang hanya mengincar materi untuk kesenangan dan kebanggaan sendiri. Negara ini lebih butuh kontribusi nyata dalam karya.

Akhirnya saya mulai mengubah cara pandang saya bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita bisa berbuat untuk bangsa ini. Atau untuk dalam lingkup kecil bagaimana kita bisa bermanfaat untuk orang lain dalam lingkaran pengaruh kita. Saya mencoba merubah dari yang awalnya egoisentrik yang lebih memikirkan diri sendiri menjadi empatik atau menumbukan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

Mulai dari titik tersebut saya semakin bersungguh-sungguh dalam kuliah karena ini amanah yang diberikan orang tua saya kepada saya. Namun meskipun fokus utama akademik, saya masih harus mencoba mengeksplore lingkaran pengaruh saya untuk bermanfaat bagi orang lain. Saya tergabung di beberapa organisasi baik intra maupun ekstra kampus, terlibat dalam community development, KKN, kegiatan volunteering dsb. Saya juga ingin berkarya dalam lomba dan startup bisnis. Meskipun hingga sekarang masih banyak kegagalan dalam setiap lomba yang saya ikuti. Bisnispun saya masih yang kecil-kecilan, menjual barang dengan saya sebagai pelaku utama,belum memperkerjakan orang lain. Bahkan karena merasa gelisah dengan permasalahan bangsa –yang salah satu unsur kesalahannya adalah pemerintah –saya pernah mengikuti demonstrasi (perdana saya) di depan gedung DPR untuk menuntut ditundanya kenaikan BBM. Tentunya tanpa anarkisme dan mengikuti kajian di kampus dahulu sebelumnya.

Semua pengalaman itu akhirnya mengantarkan saya menjadi pribadi yang lebih baik. Pola pikir yang salah sebelumnya saya coba perbaiki. Saya terus mencoba untuk mengevaluasi diri dan bertindak lebih nyata sedikit-demi sedikit. Ya perubahan tidaklah instan, perlu proses dan waktu agar bisa menjadikannya sesuatu yang bertahan lama dan melekat dalam karakter pribadi diri.

Allah memberikan kesempatan

Ditengah kesibukan dan pengembangan diri saya, rasa untuk ke luar negeri masih tetap ada. Tapi setidaknya tujuan saya sudah berubah yaitu untuk memperluas wawasan agar kelak bisa meningkatkan kualitas diri guna menjadi pribadi yang lebih bermanfaat untuk orang lain kedepannya. Inti sentralnya adalah karena saya ingin menuntut ilmu untuk menggapai ridhaNya. Pemimpin-pemimpin islam  yang memiliki integritas dan pengetahuan tidak hanya nasional tapi global, mutlak dibutuhkan Negara ini.

Akhirnya, baru beberapa hari kemarin, Allah mendengar doa saya. Ada yang bilang keberhasilan adalah ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. Ketika kita siap tapi kesempatan tidak diberikan Allah kepada kita, maka tidak akan kita temukan titik temu keberhasilan. Adapun ketika kesempatan datang, namun kita tidak siap, maka hasilnya akan sama saja, datanglah kegagalan. Alhamdulillah kali ini saya sempat mendaftar di suatu Summer Unversity Program for student di Tokyo Jepang dan saya siap dengan tujuan memperluas pengetahuan. Mindset yang saya punya pun bukannya hanya untuk sekedar terlihat keren saja, namun lebih bagaimana saya ingin memperluas wawasan dan cara pandang untuk di bawa dan di bagi ke teman-teman saya yang ada di Indonesia. Kesiapan itu dijawab Allah dengan kesempatan.

Awalnya untuk pergi ke Jepang dan biaya lainnya memerlukan biaya yang besar. Banyak perusahaan sudah saya ajukan proposal tapi semuanya ditolak. Saya hampir putus asa saat itu, artinya kesempatan saya ke luar negeri harus ditunda lagi tahun berikutnya. Tapi tiba-tiba satu perusahaan  memberikan jawaban bahwa dia sudah mentransfer ke rekening ITB Kegiatan Mahasiswa. Subhanallah, kata syukur atas kebesaranNya langsung saya haturkan berkali-kali kala itu. Akhirnya Engkau menjawab doa hampir 2 tahun ku ini ya Rabb, di waktu yang InsyaAllah tepat ini.

Saya diberikan kesempatan full funded untuk mengikuti summer program tersebut di Jepang. Tapi kali ini saya sudah bertekad bulat, bahwa ini adalah amanah untuk saya. Ke Jepang dengan full sponsor bukanlah suatu kesenangan semata untuk saya tapi lebih sebagai beban. Apakah saya bisa bertanggung jawab dan membawa ilmu dari Jepang ke Indonesia? Itulah pertanyaan besar yang harus saya jawab.

Ini  Barulah Awal dari Perjuangan

Alhamdulillah, sekarang -yaitu waktu saya mengetik tulisan ini- saya sedang berada di ribuan kaki di atas tanah, menaiki pesawat Air Asia dengan tujuan bandara Haneda, Tokyo Jepang. Allah mengabulkan permintaan saya. Tapi saya selalu mengingatkan diri saya bahwa ini baru awal. Saya belum tau seperti apa Jepang dan bagaimana kehidupan disana. Apakah saya bisa mengisi malam-malam ganjil terakhir Ramadhan dengan beriktikaf disana? Apakah saya bisa membaca Al-Quran dengan atmosfer yang sama yang saya rasakan di Indonesia? Dan apakah saya dapat menjadi orang yang cukup pantas untuk menyandeng nama delegasi Indnesia di pergelahan program nanti?

Jawaban pertanyaan tersebut belum bisa saya jawab sekarang. Tapi saya akan selalu yakin dan berusaha agar kelak jawaban YA keluar dari mulut saya ketika pertanyaan itu ditanyakan kepada saya. Allah bersama saya, jadi apa yang perlu saya takutkan?

Ditulis dalam perjalanan menuju Haneda Tokyo

Rabu, 8 Agustus 2012

Titik Awal dalam Rangkaian Panjang Tulisan

Alhamdulillah, akhirnya kesampean bisa menulis kembali, karena beberapa hari yang lalu saya sedikit disibukan dengan menjadi panitia diskusi publik dan beberapa tumpukan tugas yang pengerjaannya bisa dibilang sangat brutal. Namun syukur harus senantiasa terucap, yak beginilah salah satu kehidupan seorang pembelajar yang mengarungi kehidupan di salah satu Universitas -yang katanya- terbaik Bangsa.

Dalam beberapa post kedepan, saya ingin membagi cerita perjalanan saya menuju Jepang ke beberapa kategori tulisan:

  1. ‘Pra keberangkatan’ yang mana berbagi pengalaman secara historikal jatuh bangun sebelum terbang ke Haneda.
  2. #JapanNote yang sudah pernah saya tulis di post sebelumnya yang berisi pelajaran dan ilmu yang saya dapat selama mengikuti summer program di Yoyogi, Jepang
  3. ‘Diari harian di Negeri Matahari Terbit’, yaitu sklumat kisah dan pengalaman selama saya menjalani kehidupan kira-kira 2 minggu di Jepang.
  4. And will be added more…

Jadi post ini sebagai pembuka saja, seperti judulnya sebagai titik awal sekaligus pengingat saya juga untuk tetap istiqomah dalam menulis dan berbagi. Ohya sebagai permulaan izinkan lah saya mengutip nasihat dari Imam syafi’i:

Orang pandai dan beradab tak kan diam di kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Pergilah, kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan teman
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak dia kan keruh menggenang

Singa tak kan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak kan kena sasaran

Jika saja matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tak kan menunggu saat munculnya datang

Biji emas bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan

Kayu gaharu tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan
Jika dibawa ke kota berubah mahal jadi incaran hartawan

Genggamlah dunia hanya dengan tanganmu dan akhirat di dalam hatimu. Sehingga segala aktivitas yang kita lakukan bisa benar-benar berlandaskan pencarian Ridha-Nya

In front of Tokyo University Hall Building

Langkahkan Kakimu Menuju Ilmu! – JapanNote #1

Tulisan ini dibuat di Azamino-Yokohama, Jepang; pada tanggal 19 Agustus 2012.

Seseorang yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Syurga (Shahih Al jami)

Beberapa hari yang lalu hingga hari ini, saya diberi kesempatan untuk menginjakan kaki guna menuntut ilmu di negeri orang, negeri sakura, Jepang. Sungguh pengalaman yang luar biasa, berkelana dan mendapatkan hal yang baru selama kurang-lebih 2 minggu saya di sini. Ini merupakan mimpi saya sejak SMA. Mulai dari tahun 2010 salah satu resolusi saya adalah “pergi ke luar negeri dengan jalur beasiswa” dan tentunya kata-kata ‘belum tercapai’ selalu tertulis di setiap penghujung tahunnya. Namun di 2012 ini akhirnya Allah barulah menjawab doa saya.

Sebuah cerita yang panjang jika saya menulis berbagai kisah sebelum akhirnya salah satu impian saya ini dijawab oleh -Nya. Tapi perihal yang ingin saya angkat dalam JapanNote #1 saya ini -dan juga akan bersambung di note-note berikutnya- adalah bukan terkait kisah pra-keberangkatan, melainkan tidak lebih berisi rangkaian kata untuk berbagi pengalaman dan ilmu, apa saja yang sudah saya dapatkan saat di negeri matahari, tepatnya kota Tokyo, Jepang.

Saat ini saya tinggal di Azamino, Yokohama, Jepang, bersama salah satu pelajar Indonesia yang sedang menjalani studi S3 di Tokodai. Conference yang sedang saya ikuti sudah usai, tapi saya masih menyisakan beberapa hari di Jepang. Oleh karenanya saya mencoba untuk membuat satu tulisan yang kelak akan disambung tulisan-tulisan berikutnya yang InsyaAllah akan saya tulis di Indonesia.

JapanNote saya yang pertama ini masih bertemakan umum, yaitu specifically belum membahas terkait pengalaman saya dan ilmu-ilmu yang sudah saya dapat di Jepang. Namun saya rasa, untuk permulaan itu sudah cukup, yaitu dengan menulis terkait ajakan untuk para sahabat pembaca agar bisa memilikimindset  dan keinginanuntuk bisa juga bersegera melangkah jauh ke negeri orang untuk mencari ilmu dan dibagikan lagi ke negara merah putih kita Indonesia.

It is Time to Break The Limits, Leave the Comfort Zone!

Menuntut ilmu tidak dibatasi oleh jarak dan ruang. Bahkan semakin jauh kita mencari ilmu maka akan semakin beragam dan beravariasi ilmu pengetahuan yang kita dapat. Banyak kisah perjuangan sahabat dan solafus sholeh dalam menuntut ilmu yang mereka rela berjalan beribu-ribu kilometer dan menghabiskan waktu puluhan tahun hanya untuk melepas dahaganya akan kehausan ilmu pengetahuan.

Ibnu Bathutah, salah seorang musafir yang membukukan kunjungannya kepenjuru bumi dalam sebuah buku fenomenal yang terkenal dibarat maupun ditimur berjudul Rihlah Ibnu Bathutah, mengelilingi dunia selama tiga puluh tahun. Dalam perjalanannya selama 30 tahun itu beliau menemui berbagai rintangan dan berbagai peristiwa yang aneh dan mengkagumkan. Beliau kumpulkan semuanya dan sehingga kini beliau dan semua pengalamannya masih lagi menjadi rujukkan dan tajuk perbincangan genarasi ke generasi. [1]

Ahamd Bin Hanbal, berjalan sejauh 30 000 batu untuk mencari hadis. Menghafal sejuta atsar. Mewariskan 40 000 hadis dalam Musnad. Begitu juga dengan Jabir Bin Abdullah yang sanggup menempuh perjalanan selama sebulan ke Mesir semata mata mencari satu hadis. [2]

Jarak Palembang-Bandung, yaitu kota asal saya dan tempat saya kuliah masih tidak ada apa-apanya dibanding orang-orang besar di atas. Bahkan untuk zaman sekarang sudah ada kendaraan yang memfasilitasi untuk bisa berpergian dalam waktu yang singkat. Seharusnya tidak ada alasan untuk kita masih malas dan enggan untuk mencari ilmu di berbagai daerah. Bahkan untuk kategori Palembang-Bandung pun, ilmu yang saya dapatkan masih homogen karena masih dalam satu lingkup negara. Oleh karenanya ini saatnya saya dan kita menghacurkan limit untuk tidak hanya nyaman di zona tempat kita berada. We gotta break those limits dan mencoba mendapatkan ilmu-ilmu baru di negeri orang.

Sesiapa yang menjadikan kemuliaan sebagai cita citanya ,maka apa sahaja yang di jumpainya akan dicintainya.

Sesiapa yang memiliki cita cita yang membakar, jiwa yang teruja, usaha yang giat dan kesabaran yang berterusan, maka dia memenuhi kriteria orang yang ulung.

{Dr Abdullah Aid Al Qarni}

Namun hal tersebut harus juga diiringi dengan kegigihan akan kegagalan dan niat yang lurus. Untuk sekarang banyak kesempatan yang dapat membuat kita bisa menuntut ilmu di negeri orang, namun tentunya tidak segampang membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kesabaran dan jatuh-bangun yang berulang yang pastinya akan sering kita rasakan. Niat semata-semata untuk mencari Ridha-Nya pun harus tertanamkan menjadi dasar dari setiap tujuan kita. Saat ini pun, saya di Jepang mencoba terus berdoa agar bisa benar-benar memiliki tujuan yang tulus, yaitu untuk berbagi pengalaman dan membawa kebermanfaatan dari ilmu yang saya dapatkan dari sini.

Enlarge Mindset, Raise your standard !

Ada seorang anak, si A, sejak SD hingga lulus SMA dia habiskan waktunya di sekolah negeri X yang mana kakak-kakak kelasnya kebanyakan melanjutkan ke Perguruan tinggi swasta atau melamar pekerjaan. Dengan terjebak dilingkungan seperti itu tentunya mindset dia juga akan terkurung dalam lingkaran setan seperti kakak kelasnya dan akhirnya memilih untuk melamar pekerjaan karena tidak memiliki uang untuk bisa melanjutkan ke PT Swasta.

Beda lagi seorang anak, si B, yang sejak SD hingga SMA, dia selalu masuk di sekolah-sekolah unggulan. Kakak-kakak kelasnya banyak yang menlanjutkan ke perguruan tinggi negeri atau bahkan mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Mindsetnya pun berkembang, saya harus bisa seperti kakak kelas saya dan bahkan melampauinya, karena lingkungan dan informasi yang dimiliki si B ini mendukung tumbuhnya pola pikir yang lebih besar, sehingga dia bisa jauh lebih unggul dari si A.

Dari kedua kisah tersebut saya hanya ingin mengambil kesimpulan bahwa standar orang terkait akan kesukesan bisa berbeda-beda, dan salah satu yang mempengaruhinya adalah lingkungannya. Dengan kalian berkunjung ke luar negeri dan bertemu para pelajar Indonesia yang mendapatkan beasiswa disana, pola pikir akan semakin berkembang, bahwa setidaknya saya harus menyamai atau bahkan melampaui mereka.

Dalam diri pribadi, saya benar-benar merasakannya keinginan saya untuk bisa melanjutkan studi S2 di luar negeri semakin besar, terutama di negera Jepang ini. Keinginan tersebut tidak sebesar ketika saya hanya mencari info-info beasiswa melalui internet. Dengan saya berbicara dengan mereka yang berhasil kuliah di Jepang dengan beasiswa, rasa untuk mengikutinya semakin besar. Disinilah Mindsetdan standar keberhasilan saya semakin meningkat. Mungkin jika saya tidak bertemu mereka saya masih setengah-setengah untuk melanjutkan S2 di Indonesia atau luar negeri. Namun, dengan bertemu mereka, saya merasa saya akan berusaha harus menuntut ilmu di tempat yang lebih atau setidaknya sama dengan mereka. My Standard is rising!

Oleh karenanya, cobalah untuk bisa merasakan atmosfere ini. Saya tidak menyatakan harus, tapi ini semata-mata hanya pemikiran pribadi dan ingin mengajak teman-teman pembaca untuk juga bisa merasakan seperti apa yang saya rasakan. Prespektif orang mungkin beda-beda, tapi setidaknya inilah prespektif saya. Saya akan berusaha menuntut ilmu kembali di luar negeri, guna mendapatkan pengetahuan baru yang lebih heterogen dan variatif guna bisa di bagikan kepada teman-teman saya di Indonesia.

Niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S Al Mujadalah: 11)

At Oka Tei House

At Oka Tei House

Yokohama, 19 Agustus 2012 
Muhammad Afif Izzatullah

Sumber 
[1] http://syaikhulislam.wordpress.com/
[2] http://halaqah.net/

ps: Kemungkinan JapanNote #2 saya akan lebih membahas salah satu pengetahuan yang saya dapatkan di Jepang dipadukan dengan pendapat pribadi saya, mengenai Nuclear Energy, InsyaAllah!