Sebuah Kesempatan – Allah Sungguh Mengetahui Apa yang Terbaik untuk HambaNya

Saat ini saya sedang berada di Pesawat Air Asia tujuan Haneda Jepang yang berangkat dari bandara Internasional Kuala Lumpur. Udara begitu dingin karena sepertinya AC yang digunakan menggunakan suhu rendah dikarenakan cuaca yang panas diluar pesawat. Ya benar, saat ini Jepang berada di musim panas. Sebelah tempat duduk saya sepertinya orang Australia. Saya hanya menebak belum sempat berani untuk menanyakannya. Okay tidak terlalu penting, intinya saya menulis ini adalah tujuan ingin menceritakan beberapa kisah sebelum keberangkatan saya ke Jepang.

Mimpi untuk keluar negeri adalah impian saya sejak kecil, dan puncaknya saat saya menduduki kelas 2 SMA. Saat itu saya tinggal satu langkah lagi untuk keluar negeri, yaitu ketika saya dinyatakan lulus seleksi YES (Youth Exchange Study). Terdapat 3 tahap seleksi YES –kala itu yang saya ikuti cabang Palembang –dan saya lulus semuanya, hingga terdapat surat yang menyatakan saya dan 4 teman saya berhasil lolos seleksi. Sungguh syukur sangat saya panjatkan atas Rahmat yang diberikan Allah kala itu. Betapa tidak setelah kira-kira mengikuti tes pengetahuan umum yang jika saya tidak salah pendaftar mencapai ribuan siswa, kemudian hanya seglintir yang lolos ke tahap selanjutnya interview bahasa Inggris hingga akhirnya hanya puluhan siswa yang bisa menuai hasil kegigihan dalam tahap wawancara akhir bersama orang tua. Baru setelah itu para peserta perlu menunggu beberapa bulan dahulu dan surat pernyataan diterima di program YES tersebut keluar.

Dikarenakan saya menjalani kelas akselerasi, biasanya Negara tujuan exchange adalah Eropa. Itu hasil ngobrol dari kakak-kakak kelas aksel para grantee YES sebelumnya. Intinya setelah berhasil lolos dari 3 tahap seleksi tersebut, kami tinggal mengisi beberapa formulir untuk pencarian Host Family atau keluarga yang bersedia menampung kita di luar negeri selama satu tahun penuh. Disinilah tahap yang saya tidak berhasil melangkahinya.

Sebenarnya jika tahap ini saya berhasil, maka sudah dipastikan setelah lulus SMA saya akan menjadi exchange student ke Eropa. Namun memang Allah berkata lain. Datang surat dari YES yang menyatakan bahwa saya masih belum beruntung. Mereka sudah mengusahakan semaksimal mungkin, tapi memang karena beberapa alasan beberapa dari kami yang lolos seleksi tidak mendapatkan Hostfam untuk di Eropa nanti. Salah satu nya adalah saya.

Entah bagaimana perasaan saya ketika menerima surat dari Bina Antar Budaya –yang waktu itu langsung dikirim ke alamat rumah saya –menyatakan bahwa kesempatan untuk menuntut ilmu di luar negeri belum bisa saya dapatkan. Pernyataan lain surat bahwa saya masih diterima di keluarga besar bina antar budaya Indonesia pun masih belum bisa menimpa rasa kekecewaan kala itu. Tetap saya yakinkah dalam hati, Allah punya rencana lain.

“Allah menghilangkan sesuatu dari tangan tangan kita bukan berarti untuk mengambilnya, namun agar tangan kita kosong sehingga dapat menggenggam sesuatu yang lebih besar”

Sebenarnya masih ada kesempatan lain yang bisa mungkin punya nilai harap cukup besar. Yaitu biasanya di pengalaman-pengalaman tahun sebelumnya, murid-murid yang tidak lolos seleksi YES akan dialihkan ke program Jenesys yaitu pertukaran pelajar ke Jepang selama 1 minggu. Namun mungkin memang belum saatnya saya ke luar negeri, yang mendapatkan kesempatan untuk ikut program Jenesys tersebut hanya 1 dari kami berlima. Dan itu bukan saya. Tidak masalah. Kata-kata bahwa Allah tahu yang terbaik akan selalu saya benamkan di dalam hati saya.

Melanjutkan kehidupan perkuliahan

Lulus SMA saya melanjutkan studi di teknik Elektro ITB. Saat itu saya sungguh terobsesi untuk pergi keluar negeri, khususnya dengan jalur beasiswa (atau full funded). Namun saya memiliki kesalahan pola pikir yaitu tujuan saya ingin keluar negeri adalah untuk sebatas terlihat keren saja. Tidak ada tujuan lain. Saya ingat waktu itu saya benar-benar menanamkan ke dalam hati dan tertulis dalam setiap resolusi tahunan bahwa saya harus ke luar negeri gratis, tanpa membebani orang tua. Meskipun itu hanya sekedar Malaysia, Singapura, Philipina atau Timor Leste sekalipun itu tidak masalah, asal  tadi tidak memberatkan orang tua.

Saya juga menargetkan bahwa Negara pertama yang saya kunjungi harus dengan beasiswa atau disponsori perusahaan. Intinya saya tidak ingin membuat passport pertama saya untuk keluar negeri dengan uang orang tua ataupun uang sendiri. Setelah saya mencapai itu, entah di kunjungan ke luar negeri saya yang kedua atau yang ketiga, saya menggunakan uang sendiri, itu tidak masalah. Asalkan untuk perdana saya full funded! Itu mengapa beberapa tawaran teman saya untuk mengajak backpacking –ke Singapura misalnya –saya senantiasa tolak, karena sudah bulat saya membuat passport pertama harus karena beasiswa.

Namun alasan saya untuk keluar negeri dengan beasiswa masih terlalu dangkal yaitu supaya terlihat keren. Dan sepertinya Allah mengetahui hal tersebut. Banyak beasiwa-beasiswa, conference, summer program dll yang saya apply ditolak. Ada yang sempat diterima namun tidak didanai. Intinya kesempatan-kesempatan selalu lewat dan saya tidak pernah mencapai mimpi saya untuk bisa ke luar negeri.

Awal perubahan Pola Pikir

Satu setengah tahun saya menjalani perkuliahan dan kegiatan mahasiswa di kampus gajah ganesha (nama lain ITB, red) saya mempelajari banyak hal. Saya tergabung di organiasasi kemahasiswaan seperti kabinet KM ITB, unit kegiatan mahasiswa, himpunan, dsb. Saya juga turut berperan aktif dalam setiap kaderisasi yang diberikan oleh kakak kelas saya. Dari situ saya sadar bahwa sebenarnya apa yang Negara butuhkan dari mahasiswa.

Puncak perubahan pola pikir saya adalah ketika saya mengikuti Diklat Aktivis Terpusat (DAT). Dalam DAT kami peserta benar-benar dibukakan pintu pengetahuan mengenai kondisi bangsa saat ini. Dari situ saya sadar bahwa Negara, tepatnya masyrakat tidak butuh pemuda yang apatis dan opportunis. Yang hanya mengincar materi untuk kesenangan dan kebanggaan sendiri. Negara ini lebih butuh kontribusi nyata dalam karya.

Akhirnya saya mulai mengubah cara pandang saya bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita bisa berbuat untuk bangsa ini. Atau untuk dalam lingkup kecil bagaimana kita bisa bermanfaat untuk orang lain dalam lingkaran pengaruh kita. Saya mencoba merubah dari yang awalnya egoisentrik yang lebih memikirkan diri sendiri menjadi empatik atau menumbukan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

Mulai dari titik tersebut saya semakin bersungguh-sungguh dalam kuliah karena ini amanah yang diberikan orang tua saya kepada saya. Namun meskipun fokus utama akademik, saya masih harus mencoba mengeksplore lingkaran pengaruh saya untuk bermanfaat bagi orang lain. Saya tergabung di beberapa organisasi baik intra maupun ekstra kampus, terlibat dalam community development, KKN, kegiatan volunteering dsb. Saya juga ingin berkarya dalam lomba dan startup bisnis. Meskipun hingga sekarang masih banyak kegagalan dalam setiap lomba yang saya ikuti. Bisnispun saya masih yang kecil-kecilan, menjual barang dengan saya sebagai pelaku utama,belum memperkerjakan orang lain. Bahkan karena merasa gelisah dengan permasalahan bangsa –yang salah satu unsur kesalahannya adalah pemerintah –saya pernah mengikuti demonstrasi (perdana saya) di depan gedung DPR untuk menuntut ditundanya kenaikan BBM. Tentunya tanpa anarkisme dan mengikuti kajian di kampus dahulu sebelumnya.

Semua pengalaman itu akhirnya mengantarkan saya menjadi pribadi yang lebih baik. Pola pikir yang salah sebelumnya saya coba perbaiki. Saya terus mencoba untuk mengevaluasi diri dan bertindak lebih nyata sedikit-demi sedikit. Ya perubahan tidaklah instan, perlu proses dan waktu agar bisa menjadikannya sesuatu yang bertahan lama dan melekat dalam karakter pribadi diri.

Allah memberikan kesempatan

Ditengah kesibukan dan pengembangan diri saya, rasa untuk ke luar negeri masih tetap ada. Tapi setidaknya tujuan saya sudah berubah yaitu untuk memperluas wawasan agar kelak bisa meningkatkan kualitas diri guna menjadi pribadi yang lebih bermanfaat untuk orang lain kedepannya. Inti sentralnya adalah karena saya ingin menuntut ilmu untuk menggapai ridhaNya. Pemimpin-pemimpin islam  yang memiliki integritas dan pengetahuan tidak hanya nasional tapi global, mutlak dibutuhkan Negara ini.

Akhirnya, baru beberapa hari kemarin, Allah mendengar doa saya. Ada yang bilang keberhasilan adalah ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. Ketika kita siap tapi kesempatan tidak diberikan Allah kepada kita, maka tidak akan kita temukan titik temu keberhasilan. Adapun ketika kesempatan datang, namun kita tidak siap, maka hasilnya akan sama saja, datanglah kegagalan. Alhamdulillah kali ini saya sempat mendaftar di suatu Summer Unversity Program for student di Tokyo Jepang dan saya siap dengan tujuan memperluas pengetahuan. Mindset yang saya punya pun bukannya hanya untuk sekedar terlihat keren saja, namun lebih bagaimana saya ingin memperluas wawasan dan cara pandang untuk di bawa dan di bagi ke teman-teman saya yang ada di Indonesia. Kesiapan itu dijawab Allah dengan kesempatan.

Awalnya untuk pergi ke Jepang dan biaya lainnya memerlukan biaya yang besar. Banyak perusahaan sudah saya ajukan proposal tapi semuanya ditolak. Saya hampir putus asa saat itu, artinya kesempatan saya ke luar negeri harus ditunda lagi tahun berikutnya. Tapi tiba-tiba satu perusahaan  memberikan jawaban bahwa dia sudah mentransfer ke rekening ITB Kegiatan Mahasiswa. Subhanallah, kata syukur atas kebesaranNya langsung saya haturkan berkali-kali kala itu. Akhirnya Engkau menjawab doa hampir 2 tahun ku ini ya Rabb, di waktu yang InsyaAllah tepat ini.

Saya diberikan kesempatan full funded untuk mengikuti summer program tersebut di Jepang. Tapi kali ini saya sudah bertekad bulat, bahwa ini adalah amanah untuk saya. Ke Jepang dengan full sponsor bukanlah suatu kesenangan semata untuk saya tapi lebih sebagai beban. Apakah saya bisa bertanggung jawab dan membawa ilmu dari Jepang ke Indonesia? Itulah pertanyaan besar yang harus saya jawab.

Ini  Barulah Awal dari Perjuangan

Alhamdulillah, sekarang -yaitu waktu saya mengetik tulisan ini- saya sedang berada di ribuan kaki di atas tanah, menaiki pesawat Air Asia dengan tujuan bandara Haneda, Tokyo Jepang. Allah mengabulkan permintaan saya. Tapi saya selalu mengingatkan diri saya bahwa ini baru awal. Saya belum tau seperti apa Jepang dan bagaimana kehidupan disana. Apakah saya bisa mengisi malam-malam ganjil terakhir Ramadhan dengan beriktikaf disana? Apakah saya bisa membaca Al-Quran dengan atmosfer yang sama yang saya rasakan di Indonesia? Dan apakah saya dapat menjadi orang yang cukup pantas untuk menyandeng nama delegasi Indnesia di pergelahan program nanti?

Jawaban pertanyaan tersebut belum bisa saya jawab sekarang. Tapi saya akan selalu yakin dan berusaha agar kelak jawaban YA keluar dari mulut saya ketika pertanyaan itu ditanyakan kepada saya. Allah bersama saya, jadi apa yang perlu saya takutkan?

Ditulis dalam perjalanan menuju Haneda Tokyo

Rabu, 8 Agustus 2012