Three things I got from Supermentor 16

Last night, I just attended Supermentor 16 with my friends, an event initiated by Dino Patti Djalal, which is a platform for iconic figures to share and empower youths. Random tau dari temen tentang acara sebelumnya, jadi pengen ikut, moreover it only took minutes to the venue (Djakarta Theater XXI Thamrin), and the best it’s after office time. Terus takut keburu lupa jadi pengen langsung share di sini.

Hasil gambar untuk supermentor 16

Well 3 things actually I got by attending that event yesterday, those are tears, courage and hope.

TEARS

To be honest I shed tears last night, especially when watching many heartbreaking videos from worldbank. I got some of the videos from youtube, you could watch it by yourself

Especially the second one, video about Bu Murtianah, truly made me thank God about my life I got right now. At least I was born in a middle class family, got enough nutrition, have an opportunity to college, and  got many other rare things while most of the people didn’t.

Ditambah lagi presentasi dari Reza Rahardian, di Sumbawa orang-orang berjalan kaki 10 KM untuk mendapat air bersih (gw jalan ke kantor 2 KM aja udah keringetan), terus dari Bu Vivi, senior ekonom WB, di Kalimantan ada yang perkampungan puskesmas teredekat itu 20 KM, even the data if I’m not mistaken, only 35% babies in Indonesia have complete vaccination, and 40% ones have exclusive ASI.

A bit classic, maybe some of you have already known Indonesia indeed has bunch of problems, and it does!! But those numbers from last night at least emphasize us those are truths and real happening right now. Out of our comfort bed, delicious foods everyday, air conditioner in the office, millions of people struggling out there to just having a spoon of rice.

COURAGE

An opening speech from Pak Dino truly encouraged me, which is about 3 poverty terminators, those are education, technology and entrepreneurship. Education indeed is to make people more productive, dan untungnya kata Bu Sri Mulyani, karena fiscal policy dulu yang APBN pendidikan Indonesia cuma 10 T sekarang sudah menjadi 400T (kalo gw ga salah denger).

Menarik dari sini, dua hal lain dari poverty terminators adalah technology and entrepreneurship a.k.a startups. Maybe ini yang lagi booming sekarang dan related to my passion which is tech. Well some of you maybe have read a viral article from former Kaskus founders about the bubble in tech startups here. Well I realized that’s happening in Indonesia right now, but it doesn’t mean totally bad.

Orang-orang seperti Nadiem, Fery, William, and other tech startup founders, indeed contribute to this poverty terminators thing. They open many job fields and help improving economics which is to close up the gap of poverty. But one thing they have to make sure that their business must sustainable and the valuation of their companies must produce positive cashflow and equal to the impact to society.

Ga mau panjang-panjang ding, karena kapasitas juga masih minim, dan masih tahap belajar. But at least I got a courage from here. A small spark to keep in the right track, which is in line with what Islam has taught us. The best people are the ones who could give benefit to the others.

HOPE

Last but not least, I got from last night is a hope. To be honest it was my first time I watched directly the speech from Bu Sri Mulyani. And I could say it was totally inspiring, charismatic and stunning. The way she delivered her speech last night truly reflected millions of experience she had before. Twice becoming minister of finance, the first Indonesian to be managing director and COO of world bank, and 23 influence women according to Forbes.

She is also the founder of LPDP, which like Pak Dino said before, education is number one poverty terminator. And that’s where my hope comes from. Many of my friends right now are studying abroad because of LPDP, and I do believe they will become someone like Bu Sri Mulyani in the future. Someone who are smart and very well educated to drive this country. Mereka yang akan meneruskan tongkat estafet dari para generasi X saat ini.

And me? I don’t know. Thing I could do now is trying to be on the same right track with them. I don’t want to be someone who just watch from audience seats. Hanya menyaksikan perubahan. I want at least to try to be involved within. Semoga bisa. Allahumma Aamiin.[]

Kangen aksi :( 

Saya bukan orang yg sering turun. Tapi sepengalaman saya, dulu, aksi ITB itu teratur. Sebelum turun, selalu diadakan forum kajian yg mengundang himpunan2, yah meskipun yg dateng ga seberapa, tapi lumayan.

Selalu dikaji apa yg ingin di bawa pas aksi, siapa saja yg berhak ngomong di lapangan, siapa komando tertinggi, komandan lapangan, selalu ada pembagian tugas, dan skenario pergerakan.

ITB dengan kampus lain di BEM SI selalu berdiskusi dengan buruh, supaya diberikan kesempatan untuk menyampaikan suara mahasiswa. Ricuh biasanya tidak terhindarkan, oknum2 tertentu yg melakukan. Bukan ITB. Saat ricuh, polisi maju, gas air mata terlontar, barikade ITB mundur perlahan dan segera bubar dari barisan masa aksi.

Intinya gerakannya elegan, tegas, dengan tujuan utama menyampaikan. Aksi itu perlu, saya pernah mengutarakan sedikit pendapat disini:

https://afifizzatullah.wordpress.com/2013/10/05/kisah-senandikaku-orang-bijak-dan-empat-mahasiswa/

Yah intinya saat ini semoga masih ada gerakan

Ohya mungkin engkau lupa!

Hari ini aku segera beranjak dari tempat tidur, bergegas mengambil motor butut yang terparkir di pojok halaman, mengengkolnya… mungkin butuh belasan hingga puluhan kali agar bisa terdengar bunyi mesin yang menyala

Aku harus cepat! Karena hari ini-lah, hari terakhir untuk bisa membeli bensin dengan harga murah, sebelum besok sudah engkau paksakan -mungkin dengan sedikit naik darah- harga BBM akan mutlak dinaikkan

Aku heran, banyak orang bilang, minyak kita banyak. Tapi kok kita seperti terseok-seok, mengais tanah, mencari apa yang engkau bilang emas hitam.

Aku tidak paham dengan dalih yang engkau berikan. Kekurangan teknologi pengerukan, crude oil dunia naik, atau apalah itu bahasa-bahasa dewa yang engkau gunakan. Yang terpenting bagiku, anak ku bisa makan! bisa berpendidikan! Tidak harus pinjam sana-sini untuk menutupi kebutuhan!

Ohya mungkin engkau lupa!

Engkau lupa jika aku dan teman-temanku hanya berpenghasilan 10 ribu per hari.

Dan parahnya, yang aku tahu, engkau menggolongkanku pada kategori tidak miskin. Terima kasih!

Oke, aku anggap aku paham, dengan berjuta alasan yang engkau berikan -peningkatan kemakmuran, subsidi salah sasaran, ini semua juga untuk kesejahteraan- tapi, mengapa baru sekarang engkau putuskan?

Apakah engkau tidak tahu bahwa sebentar lagi ramadhan? Bahwa harga-harga akan naik secara simultan?

Ohya mungkin engkau lupa!

Dengan setumpuk surat penting yang harus engkau tanda-tangani, demi menjaga nama baik untuk tetap berada di kasta tertinggi

Awal-awal tahun tidak ada suara. Aku kira -dan sangat bersyukur- BBM tidak jadi dinaikkan. Padahal mungkin aku bisa mempersiapkan, jika pada awal tahun engkau naikkan, jika memang itu yang engkau perlukan

Sekali lagi mungkin engkau lupa! Atau sengaja?

Menaikan beberapa hari sebelum ramadhan? Agar aku dan teman-teman ku bisa terlatih hidup lebih “militan” ?

“Oh tenang…” kau berkata “aku sudah menyiapakan bantuan tunai untuk kalian…”

Beberapa temanku tersenyum, mereka senang akhirnya ada uang ganti tambahan.

Tapi apakah itu memang yang engkau inginkan? Membuat kita selalu menadahkan tangan?

Ohya mungkin engkau lupa, bahwa yang sekarang kau perjuangkan adalah membuat kita akan selalu mengemis atas suapan, bukan tujuan utama menumbuhkan kemandirian ?

Aku tahu engkau pasti berat duduk disana. Penuh tekanan, penuh hujatan.

Tapi tolong tegaslah! Jangan lupakan aku dan teman-temanku. Ingat-ingat lah sekeping pikiran engkau yang masih peduli atas nurani dan hati. Ingatlah wajah-wajah kami, yang semakin berkerut ceking, mencari asupan gizi

Atau jangan sampai aku dan teman-temanku akan lama-lama lupa, bahwa sampai sekarang kita masih mempunyai seorang pemimpin…

Resensi Buku: Di Bawah Bendera Asing (Liberalisasi Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia)

Ditulis di Desa Cihurip, Garut sembari menikmati udara segar perdesaan dan bersih dari kebisingan kota dalam program KKN Tematik ITB, 13 Juni 2012.

 “Untuk mereka yang menjadi korban imperium minyak

Itulah kata-kata pembuka yang menyabut pembaca ketika pertama kali membaca buku ini. Buku bertebal 328 halaman ini memang semata-mata dipersembahkan oleh sang Penulis untuk setiap insan masyarakat Indonesia yang terhapuskan haknya untuk memperoleh kekayaan alam di negeri sendiri. Berlandaskan akan keprihatinan amat mendalam tentang semakin pudarnya kedaulatan nasional di bidang ekonomi , terutama dalam sector usaha minyak dan gas bumi, penulis mencurahkanya dalam sebuah tesis untuk meraih gelar S2nya serta mengembangkannya dalam sebuah buku berjudul “Di Bawah Bendera Asing” yang akan kita lihat resensinya di bawah ini.

Penulis bernama M Kholid Syeirazi, seorang lulusan Sarjana (S1) dari Fakultas Filsafat UGM dan S2 di program pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia. Inti dari buku yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh pustaka LP3ES Indonesia ini, adalah mengenai liberalisasi sektor migas melaui Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang tersebut bukan hanya menisbikan kedaulatan nasional, tetapi juga merelativisasi makna “penguasaan Negara” di sektor-sektor strategis yang selama ini termaktub di dalam konstitusi 1945. Segala kegelisahan beliau abadikan dalam uraian kata-kata, data dan fakta yang semuanya menjurus untuk diperlukannya sesegera mungkin nasionalisasi dalam indstri migas guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Gambaran Umum Buku

Buku dengan cover berwarna biru dan desain tetesan minyak dengan lambang perusahaan-perusahaan asing secara dominan dengan lambang pertamina yang dikecilkan sangat jelas menggambarkan pengkerdilan Pertamina sebagai BUMN migas dalam negeri yang posisinya semakin dilangkahi asing dalam menguasai sumber-sumber “emas hitam” dalam negeri. Meski konten yang disajikan terkesan cukup berat namun kenyataannya gaya bahasa yang digunakan penulis cukup ringan dan mudah dipahami bagi para pembaca yang menjadi pendatang baru dalam dunia permigasan nasional.

Alur yang digunakan cukup komprehensif dan secara sistematis gampang dicerna oleh para pembaca terutama pelajar dan pemuda yang haus akan pengetahuan kondisi Ibu Pertiwi kita saat ini. Kata-kata yang digunakan juga tidak menjemukan dan data-fakta yang disajikan juga berasal dari berbagai sumber terpercaya sehingga pembaca bisa memahami materi dari berbagai sudut pandang. Menurut resentator buku ini sangat direkomendasikan tidak hanya mahasiswa dengan keprofesian terkait (teknik perminyakan, pertambangan, ilmu politik dll) namun seharusnya dibaca oleh mahasiswa secara umum, dikarenakan pemahaman mengenai kebijakan dan politik nasional harus sedari dini ditanam dalam pola pikir calon penerus bangsa nantinya.

Agar kelak ketika pemerintah membuat suatu kebijakan kita sebagai masyarakat tidak hanya asal “mengangguk” padahal jelas kebijakan tersebut sangat mengucilkan hak rakyat dan semakin “mengenyangkan” para koruptor dan kapitalis asing di singgasana Negara sana. Karena jelas, apapun keprofesian kita nantinya, jalan apapun yang kita tempuh nantinya, cita-cita kita tetap satu yaitu keadilan dan kedaulatan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia ini berada di tangan rakyat dan digunakan murni untuk  kemakmuran dan kesejateraan rakyat.

Ikhtisar Isi Buku

“Energy security is a fundamental component of national security” –Spencer Abraham (Menteri Energi Amerika Serikat)

Ketahanan energi merupakan komponen yang fundamental untuk setiap Negara. Minyak merupakan salah satu sumber bahan bakar serba guna yang pernah ditemukan manusia dan memacu jantung ekonomi industry modern. Bahkan pada saat perang Arab-Israel 1973, Negara-negara Arab menggunakan minyak sebagai sebagai senjata politik. Bangsa Arab dipimpin Arab Saudi bersatu menjatuhkan sanksi embargo minyak kepada pihak-pihak yang memihak Israel dalam perang Yon Kippur. Embargo tersebut membuat harga minyak dunia menjadi lima kali lipat dari US$ 2,5 menjadi US$ 12 per barel, dan memicu resesi ekonomi dunia.

Amerika Serikat adalah Negara yang paling kecanduan akan minyak (addicted to oil). Sebagai konsumen energi terbesar dunia, AS butuh jaminan pasokan (security of supply)  negara-negara pemilik cadangan minyak, karena cadangannya sendiri semakin menipis (tersisia 29,4 miliar barel). Produksi menurun (tinggal sekitar 5,1 juta bph) sementara konsumsi terus meningkat (mencapai 20,7 juta bph) menempatkan AS harus merancang skenario Liberalisasi industri minyak seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Undang-undang Migas No 22/2001, berdasarkan kesimpulan analisis penulis, dengan berbagai teori sosial dan berbagai pengakuan terbuka lembaga-lembaga donor seperti USAID dan ADB dengan dukungan Bank Dunia dan IMF, merupakan salah satu koleksi undang-undang liberal yang mensibikan kedaulatan dan merelatifkan makna penguasaan Negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dibaliknya terdapat kepentingan-kepentingan donor asing dan berdiri tegap kartel-kartel raksasa minyak dunia yang berkepentingan terhadap liberalisasi sektor migas Indonesia.

USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of state-owned oil company in exploration dan production. A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for oil and gas legislation. (Source: USAID document)

Arti penting liberalisasi industri migas Indonesia bagi Amerika Serikat adalah “penguasaan asing”. Perusahaan-perusahaan minyak berbendera Amerika Serikat mendominasi 85 persen di bisnis hulu minyak bumi (eksplorasi dan ekslpoitasi) dan 70 persen di bisnis hulu gas bumi. Kontrol tersebut makin paripurna jika bisnis di sketor hilir dibuka lebar. Pangsa pasar BBM domestic sangat besar, sehingga pemain-pemain asing dapat berpartisipasi menjual BBM eceran ke 220 juta penduduk Indonesia.

Pemerintah pun kala itu merupakan aktor besar yang mengajukan RUU migas dengan berbagai macam dalih dan alasan. Beberapa diantaranya adalah (1) Pertamina harus turut bersaing di industri minyak global sehingga harus “disamaratakan” dengan industri migas global lainnya dengan cara melepas monopoli kuasa terhadap sumber minyak dalam negeri dan (2) sudah terlalu merajalelanya korupsi di internal Pertamina sehingga harus segera digantikannya UU no 8/1971 dengan UU baru, yaitu UU migas. Padahal untuk dalih yang pertama dengan melepas menopoli pertamina (1) masih tidak ada jaminan akan kemanan pasokan minyak dalam negeri karena dengan masuknya perusahaan asing dalam negeri, mereka lebih memilih mengekspor olahan minyaknya ke luar negeri ketimbang Indonesia dikarenakan harga yang lebih mahal jika dijual ke luar negeri. Kemudian dalih kedua (2) fakta menyatakan korupsi Pertamina yang menggerogoti perusahaan minyak nasional telah berlangsung sejak Order baru berkuasa, bukan setelah terbitnya UU 8/1971. Jadi akar masalah bukan pada UU 8/1971, tetapi struktur dan mental birokrasi yang kedap akan reformasi.

Beberapa implikasi dari diterapkannya UU 22/2001 tentang migas adalah

  1. Implikasi paling mendasar adalah, Negara kehilangan alat untuk menjami keamanan pasok (security of supply) BBM atau BBG dalam negeri karena kontrol cadangan dan produksi migas sudah tidak berada di tangan BUMN migas. Akibatnya krisis bahan bakar migas selalu membayangi sektor energi nasional.
  2. Pertamina dirombak menjadi perusahaan skala usaha yang terpecah-pecah (unbundled), sementara perusahaan-perusahaan minyak dunia lainnya makin terintegrasi secara vertical. Mereka mencapai efisiensi dengan mengintegrasikan kegiatan sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga sektor hilir (disitribusi, niaga, pengolahan dsb)
  3. Terjadinya ketidakmenetukan iklim investasi sektor hulu migas karena kebijakan fiscal yang  mendukung. Bahasa simpelnya: investor harus membayar lebih untuk eksplorasi wilayah cadangan minyak baru, padahal belum pasti ada atau tidak minyaknya di wilayah tersebut. Indonesia satu-satunya Negara yang menerapkan pembayaran pra-produksi
  4. Dirombak Pertamina sebagai PT (persero) lewat PP no 31 tahun 2003 juga memungkinkan privatisasi Pertamina. Intinya Pertamina bisa diperjual belikan!
  5. Birokrasi baru semakin ribet dan tidak investor friendly. Awalnya ketika UU 8/1971 diterapkan investor hanya perlu melewati satu instansi yaitu pertamina sebelum eksplorasi, namun dengan adanya UU migas investor harus melewati minimal 5 instansi sebelum melakukan pengeboran.

Masih banyak implikasi-implikasi nyata yang ditimbulkan dengan diterapkannya UU 22/2001 tentang minyak dan gas bumi yang tertuang dalam buku ini. Namun sebaiknya pembaca segera membaca secara keseluruhan isi buku sehingga pengetahuan yang didapat bisa secara holistik dan lebih komprehensif. Peresensi juga kemungkinan akan menuliskannya dalam tulisan baru yang selengkapnya bisa dilihat di akhir dari tulisan ini.

Penutup

Didalam buku ini terlalu banyak penyesalan yang diungkapkan dalam tulisan. Kata-kata “seandainya” sering kali muncul dalam parafraf-paragraf di setiap bab. Misalnya seandainya pemerintah tidak mengganti UU 8/1971 kala itu…” atau “seandainya pemerintah menerapkan kebijakan energi mix terlebih dahulu maka Negara akan bla bla…”

Oleh karena itu misal suatu saat pemerintah membaca buku ini janganlah terlalu menyesali perbuatan di masa lalu, terlepas dari alasan dan akibat yang ditimbulkan. Yang harus dilakukan pemerintah sekarang adalah secepatnya memulihkan kedaulatan nasional di bidang energi, khususnya dengan merombak UU migas dengan undang-undang baru yang lebih “merah-putih” dan tentunya diiring dengan implementasi konkrit yang sesuai dengan konstitusi pasal 33 UUD 1945. Bendera Nasional harus dikibarkan di semua produk kebijakan dan perundang-undangan di negeri ini. Jika pemerintah diam, DPR harus bergerak. Jika dua-duanya diam, rakyat akan menunggu lebih lama lagi untuk bisa menjadi tuan di negeri sendiri.[]

Blok-blok Migas Habis Masa Kontrak – Akankah Negara Kecolongan ?

Hingga tahun 2021 yang akan datang terdapat sekitar 26 dari 72 kontrak migas yang masuk tahap produksi yang akan habis masa kontraknya. Namun belum ada ketentuan baku yang menjadi pegangan bahwa kontrak-kontrak tersebut akan benar-benar dikembalikan kepada Negara untuk dikelola BUMN. Padahal jelas sesuai dengan amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945 bahwa “Sumber daya alam harus dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

26 PSCs will be expired up to 2020:

  1. Expan Nusantara, Nama Blok (Kampar Block), 5 Juli 2013
  2. Expan Nusantara, South Sumatra Extension, 5 Juli 2013;
  3. Chevron Pacific Indonesia, Siak, 28-Nov-13;
  4. Intermega Sabaku, Salawati (A and D Salawati), 9 Januari 2015;
  5. JOB Pertamina-Costa Intl Group, Gebang, 29-Nov-15;
  6. ConocoPhillips Indonesia, Corridor, 7-Sep-16;
  7. PetroChina, Kepala Burung, 15 Oktober 2016;
  8. Total E&P Indonesie, Mahakam, 30-Mar-17;
  9. Chevron Indoneisa Company, Attaka, 31-Mar-17;
  10. ExxonMobil Oil Indonesia, “B” Block, 1-Aug-17;
  11. JOB Pertamina-PetroChina East Java, Tuban, 28-Feb-18.
  12. JOB Pertamina-Talisman Ogan Komering), Ogan Komering), 28-Feb-18;
  13. PetroChina, Tuban, 28-Feb-18;
  14. VICO Indonesia, Sanga-Sanga, 7-Aug-18:
  15. CNOOC SES, South East Sumatera, 6-Sep-18;
  16. Maxus South East Sumatera BV, South East Sumatera 6-Sep-18;
  17. Mobil Exploration Indonesia, NSO and NSO Extension Block, 16-Sep-18;
  18. ConocoPhillips Indonesia, South Natuna Sea Block “B”, 16-Oct-18;
  19. Chevron Indonesia Company, Pasir Barat, 25-Oct-18.
  20. Operator (Putra Kencana Diski Petroleum), Nama Blok (Diski), 16Nov-18;
  21. Intermega Sabaku Linda, (A, B, C/G and Sele), 1-May-19;
  22. JOB Pertamina-Golden Spike Indonesia, Raja Block, 6 Juli 2019;
  23. Kalrez Petroleum (Seram), Renewal-Bula Block, 31-Oct-19,
  24. JOB Pertamina-PetroChina Salawati, Salawati 23-Apr-20;
  25. Lapindo Brantas, Brantas, 23-Apr-20;
  26. Kondur Petroleum SA, Malacca Strait Block, 4-Aug-20

Source: Pertamina

Menyikapi hal tersebut Marwan Batubara, selaku Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) mengadakan diskusi yang juga penulis hadiri dengan turut mengundang beberapa elemen yang terkait masalah ini, yang berlokasi di gedung GBHN Nusantara V MPR RI. Beberapa elemen utama antara lain adalah dari pihak Pertamina selaku National Oil Company (NOC) Indonesia, Wakil dari Kementrian ESDM, anggota DPR, dan beberapa ahli serta peneliti di bidang migas. Tujuan dari diskusi ini adalah bertukar gagasan dan fakta untuk menghasilkan titik temu agar Pemerintah dapat sepenuhnya menyerahkan Blok migas habis masa kontrak ke BUMN Pertamina.

Pemerintah dan Pertamina

Seandainya kita coba untuk berfikir sederhana, masalah ini sebenarnya sangat gampang diselesaikan asalkan kedua pihak, Pertamina dan Pemerintah, saling mendukung. Pemerintah memberi hak penuh penguasaan blok migas tersebut kepada Pertamina, dan Pertamina siap dan mampu untuk mengelolanya. Masalah selesai.

Namun mungkin memang dikarenakan banyak ‘alasan’ dan ‘kendala’, entah mengapa penulis tidak mendengar secara TEGAS dari kedua belah pihak –baik Pertamina maupun Pemerintah pada sesi diskusi tersebut –yang menyatakan mereka siap mengelola blok migas habis masa kontrak tersebut. Pemerintah –kala itu diwakili oleh Bapak Edy Hermantoro dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi –belum memberikan statement  konkrit yang menyatakan akan membuat peraturan khusus (berupa PP Baru atau permen) yang secara tegas memuat ketentuan blok migas habis masa kontrak dikembalikan kepada Negara. Pertamina pun –yang diwakili Bapak Salis S. Aprilian selaku Direktur Utama Pertamina Hulu Energi –menurut pendapat penulis masih bertele-tele menyatakan kesiapannya.

Pertamina mempunyai visi pengembangan jangka panjang yaitu memproduksi minyak sebesar 1 juta barel per hari. Dengan penguasaan yang hanya sebesar 17% migas nasional, akan sangat sulit pertamina mencapai visi tersebut. Ditambah lagi dukungan pemerintah yang ‘abu-abu’ –tidak jelas antara keberpihakan kepada NOC sendiri atau perusahaan asing –membuat Negara ini akan semakin terkekang oleh SDAnya sendiri yang tidak bisa digunakan untuk kepentingan rakyat.

UU Migas yang Lebih Merah-Putih

Dr Kurtubi, selaku Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), pada diskusi ini secara tegas menyatakan bahwa pengambil alihan kontrak blok migas yang habis masa kontrak kepada Pertamina adalah hal yang mutlak harus dilakukan oleh Negara untuk memulihkan kondisi permigasan nasional. Beliau juga menekankan bahwa UU no 22 /2001 tentang migas harus segera diganti karena banyaknya lubang kesalahan yang dapat merugikan negara.

Salah satu hal fatal dari dampak negatif UU Migas no 22/2001 adalah sistem menjadi tidak efisien, berbelit-belit, dan birokratis karena kehadiran lembaga baru (BP Migas). BP Migas bukan merupakan lembaga bisnis sehingga migas bagian negara tidak bisa dijual/dikembangkan sendiri melainkan harus menunjuk pihak lain. Aset negara yang dibeli dari dana Cost Recovery tidak bisa dikelola secara benar dan tidak bisa dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Hal ini disebabkan BP Migas yang notabene sebagai badan regulator -bukan pelaku usaha (tidak bisa menjual dan mengembangkan blok migas) -disuruh mengawasi Cost Recovery yang secara umum adalah seharusnya menjadi tugas badan eksekutor (pelaku bisnis). Hambatan yang dialami oleh para Kontraktor Migas di lapangan pun juga tidak bisa dihadapi dan diselesaikan oleh BP Migas, bahkan BP Migas cenderung ‘menghilang’ padahal BP Migas mewakili Pemerintah dalam menandatangani kontrak.

Kembali lagi pada blok migas yang akan habis kontrak. Mestinya, beberapa tahun sebelum ‘due date’  berakhirnya kontrak, Negara (BUMN) sudah harus mulai masuk agar operasi produksi tidak berhenti pada vsaat ‘due date’ tiba. Mekanisme ini mustahil dilakukan selama penandatangan kontrak dilakukan oleh Lembaga Non-Bisnis (BP Migas). Akibatnya, ada ‘celah/ruang/opportunity’  bagi ‘Pemburu Rente’ untuk meraup manfaat/keuntungan bagi diri sendiri dan kelompoknya dengan merugikan Negara.

Karena adanya UU Migas, pemerintah harus menandatangani kontrak ‘B to G’ atau ‘Business to Goverment’ yang mengakibatkan pemerintah ‘turun kasta’ yaitu pemerintah berada dalam ikatan kontrak dan tidak memiliki kekuasaan penuh terhadap kontrak jika sewaktu-waktu kebijakan merugikan negera. Dalam hal inilah kedaulatan hilang. Seharusnya pemerintah membuat kontrak ‘B to B’ atauBusiness to Business , yaitu antara BUMN Pertamina dan Investor sedangkan Pemerintah berada di atasnya. Kontrak seperti inilah makna dari kedaulatan. Karena Pemerintah berada diluar kontrak yang kapanpun bisa mengubah bahkan membatalkan kontrak tersebut apabila tidak menguntungkan negara.

Negara berada di atas BUMN dan Investor

Oleh karena itu UU migas harus sesegera mungkin direvisi. Sederhanakan sistem dengan melikwidai BP Migas menjadi BUMN Pertamina yang juga sebagai pelaku bisnis. BPH Migas sebaiknya disatukan juga ke dalam Dirjen Migas sehingga regulator cukup satu agar tidak mengakibatkan koordinasi yang kompleks. Serahkan juga blok migas ke BUMN, baik dengan Pertamina mengelola sendiri atau dengan menggandeng investor (lama atau baru). Karena sangat jelas Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu aset nasional terbesar yang jika dimanfaatkan dengan maksimal dan efisien tidak ada lagi hambatan untuk Indonesia menjadi negara yang maju perekonomiannya.

Penutup

Negara sekarang lebih menafsirkan kata “menguasai” pada pasal 33 UUD 1945 adalah hanya sebagai “mengatur” tetapi tidak “memiliki”. Dr Kurtubi menganalogikan jika seseorang ingin membeli sate kambing, dia cukup membeli satenya saja tidak perlu membeli kambingnya. Itulah Indonesia. Ini adalah filosofi yang jelas salah dikarenakan kekayaan ini (migas) berada di wilayah Negara Indonesia dan sepatutnya dipergunakan untuk seutuh-utuhnya kemakmuran rakyat. Negara harus 100% MEMILIKI seluruh kekayaan alam yang ada, sehingga kedaulatan dapat tertegak di tanah Ibu Pertiwi ini.

Sudah selayaknya setelah Kontrak Habis, seluruh Asset kembali ke Negara, baik asset yang ada diperut bumi berupa sisa cadangan yang bisa diproduksikan saat ini maupun potensi sumber dayanya. Serta asset diatas permukaan yang berupa fasilitas/sarana produksi. Blok-blok migas habis masa kontrak mutlak seharusnya milik negara. Namun sekali lagi sekarang memang keputusan berada di tangan para penguasa yang duduk dipemerintahan sana. Bagaimana kekuatan political will bisa benar-benar digunakan sesuai amanah yang diberikan kepada mereka untuk mensejahterakan rakyat. Seharusnya jika Pertamina saja sudah menyatakan SIAP, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak bisa menurutinya dan memberikan blok-blok tersebut kepada Pertamina.