Investasi Waktu

Satu event biasanya menjadi pemantik ingatan akan suatu pembelajaran, dan merambat kepada ingatan dan pembelajaran lainnya. Terkadang lompatan memori tersebut hanya menjadi suatu percikan dan langsung hilang, kecuali kita mengabadikannya ke dalam tulisan yg dapat dibaca di masa depan. Kemarin … Continue reading

Resensi Buku: Di Bawah Bendera Asing (Liberalisasi Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia)

Ditulis di Desa Cihurip, Garut sembari menikmati udara segar perdesaan dan bersih dari kebisingan kota dalam program KKN Tematik ITB, 13 Juni 2012.

 “Untuk mereka yang menjadi korban imperium minyak

Itulah kata-kata pembuka yang menyabut pembaca ketika pertama kali membaca buku ini. Buku bertebal 328 halaman ini memang semata-mata dipersembahkan oleh sang Penulis untuk setiap insan masyarakat Indonesia yang terhapuskan haknya untuk memperoleh kekayaan alam di negeri sendiri. Berlandaskan akan keprihatinan amat mendalam tentang semakin pudarnya kedaulatan nasional di bidang ekonomi , terutama dalam sector usaha minyak dan gas bumi, penulis mencurahkanya dalam sebuah tesis untuk meraih gelar S2nya serta mengembangkannya dalam sebuah buku berjudul “Di Bawah Bendera Asing” yang akan kita lihat resensinya di bawah ini.

Penulis bernama M Kholid Syeirazi, seorang lulusan Sarjana (S1) dari Fakultas Filsafat UGM dan S2 di program pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia. Inti dari buku yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh pustaka LP3ES Indonesia ini, adalah mengenai liberalisasi sektor migas melaui Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang tersebut bukan hanya menisbikan kedaulatan nasional, tetapi juga merelativisasi makna “penguasaan Negara” di sektor-sektor strategis yang selama ini termaktub di dalam konstitusi 1945. Segala kegelisahan beliau abadikan dalam uraian kata-kata, data dan fakta yang semuanya menjurus untuk diperlukannya sesegera mungkin nasionalisasi dalam indstri migas guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Gambaran Umum Buku

Buku dengan cover berwarna biru dan desain tetesan minyak dengan lambang perusahaan-perusahaan asing secara dominan dengan lambang pertamina yang dikecilkan sangat jelas menggambarkan pengkerdilan Pertamina sebagai BUMN migas dalam negeri yang posisinya semakin dilangkahi asing dalam menguasai sumber-sumber “emas hitam” dalam negeri. Meski konten yang disajikan terkesan cukup berat namun kenyataannya gaya bahasa yang digunakan penulis cukup ringan dan mudah dipahami bagi para pembaca yang menjadi pendatang baru dalam dunia permigasan nasional.

Alur yang digunakan cukup komprehensif dan secara sistematis gampang dicerna oleh para pembaca terutama pelajar dan pemuda yang haus akan pengetahuan kondisi Ibu Pertiwi kita saat ini. Kata-kata yang digunakan juga tidak menjemukan dan data-fakta yang disajikan juga berasal dari berbagai sumber terpercaya sehingga pembaca bisa memahami materi dari berbagai sudut pandang. Menurut resentator buku ini sangat direkomendasikan tidak hanya mahasiswa dengan keprofesian terkait (teknik perminyakan, pertambangan, ilmu politik dll) namun seharusnya dibaca oleh mahasiswa secara umum, dikarenakan pemahaman mengenai kebijakan dan politik nasional harus sedari dini ditanam dalam pola pikir calon penerus bangsa nantinya.

Agar kelak ketika pemerintah membuat suatu kebijakan kita sebagai masyarakat tidak hanya asal “mengangguk” padahal jelas kebijakan tersebut sangat mengucilkan hak rakyat dan semakin “mengenyangkan” para koruptor dan kapitalis asing di singgasana Negara sana. Karena jelas, apapun keprofesian kita nantinya, jalan apapun yang kita tempuh nantinya, cita-cita kita tetap satu yaitu keadilan dan kedaulatan tertinggi dalam Negara Republik Indonesia ini berada di tangan rakyat dan digunakan murni untuk  kemakmuran dan kesejateraan rakyat.

Ikhtisar Isi Buku

“Energy security is a fundamental component of national security” –Spencer Abraham (Menteri Energi Amerika Serikat)

Ketahanan energi merupakan komponen yang fundamental untuk setiap Negara. Minyak merupakan salah satu sumber bahan bakar serba guna yang pernah ditemukan manusia dan memacu jantung ekonomi industry modern. Bahkan pada saat perang Arab-Israel 1973, Negara-negara Arab menggunakan minyak sebagai sebagai senjata politik. Bangsa Arab dipimpin Arab Saudi bersatu menjatuhkan sanksi embargo minyak kepada pihak-pihak yang memihak Israel dalam perang Yon Kippur. Embargo tersebut membuat harga minyak dunia menjadi lima kali lipat dari US$ 2,5 menjadi US$ 12 per barel, dan memicu resesi ekonomi dunia.

Amerika Serikat adalah Negara yang paling kecanduan akan minyak (addicted to oil). Sebagai konsumen energi terbesar dunia, AS butuh jaminan pasokan (security of supply)  negara-negara pemilik cadangan minyak, karena cadangannya sendiri semakin menipis (tersisia 29,4 miliar barel). Produksi menurun (tinggal sekitar 5,1 juta bph) sementara konsumsi terus meningkat (mencapai 20,7 juta bph) menempatkan AS harus merancang skenario Liberalisasi industri minyak seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Undang-undang Migas No 22/2001, berdasarkan kesimpulan analisis penulis, dengan berbagai teori sosial dan berbagai pengakuan terbuka lembaga-lembaga donor seperti USAID dan ADB dengan dukungan Bank Dunia dan IMF, merupakan salah satu koleksi undang-undang liberal yang mensibikan kedaulatan dan merelatifkan makna penguasaan Negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dibaliknya terdapat kepentingan-kepentingan donor asing dan berdiri tegap kartel-kartel raksasa minyak dunia yang berkepentingan terhadap liberalisasi sektor migas Indonesia.

USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of state-owned oil company in exploration dan production. A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for oil and gas legislation. (Source: USAID document)

Arti penting liberalisasi industri migas Indonesia bagi Amerika Serikat adalah “penguasaan asing”. Perusahaan-perusahaan minyak berbendera Amerika Serikat mendominasi 85 persen di bisnis hulu minyak bumi (eksplorasi dan ekslpoitasi) dan 70 persen di bisnis hulu gas bumi. Kontrol tersebut makin paripurna jika bisnis di sketor hilir dibuka lebar. Pangsa pasar BBM domestic sangat besar, sehingga pemain-pemain asing dapat berpartisipasi menjual BBM eceran ke 220 juta penduduk Indonesia.

Pemerintah pun kala itu merupakan aktor besar yang mengajukan RUU migas dengan berbagai macam dalih dan alasan. Beberapa diantaranya adalah (1) Pertamina harus turut bersaing di industri minyak global sehingga harus “disamaratakan” dengan industri migas global lainnya dengan cara melepas monopoli kuasa terhadap sumber minyak dalam negeri dan (2) sudah terlalu merajalelanya korupsi di internal Pertamina sehingga harus segera digantikannya UU no 8/1971 dengan UU baru, yaitu UU migas. Padahal untuk dalih yang pertama dengan melepas menopoli pertamina (1) masih tidak ada jaminan akan kemanan pasokan minyak dalam negeri karena dengan masuknya perusahaan asing dalam negeri, mereka lebih memilih mengekspor olahan minyaknya ke luar negeri ketimbang Indonesia dikarenakan harga yang lebih mahal jika dijual ke luar negeri. Kemudian dalih kedua (2) fakta menyatakan korupsi Pertamina yang menggerogoti perusahaan minyak nasional telah berlangsung sejak Order baru berkuasa, bukan setelah terbitnya UU 8/1971. Jadi akar masalah bukan pada UU 8/1971, tetapi struktur dan mental birokrasi yang kedap akan reformasi.

Beberapa implikasi dari diterapkannya UU 22/2001 tentang migas adalah

  1. Implikasi paling mendasar adalah, Negara kehilangan alat untuk menjami keamanan pasok (security of supply) BBM atau BBG dalam negeri karena kontrol cadangan dan produksi migas sudah tidak berada di tangan BUMN migas. Akibatnya krisis bahan bakar migas selalu membayangi sektor energi nasional.
  2. Pertamina dirombak menjadi perusahaan skala usaha yang terpecah-pecah (unbundled), sementara perusahaan-perusahaan minyak dunia lainnya makin terintegrasi secara vertical. Mereka mencapai efisiensi dengan mengintegrasikan kegiatan sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga sektor hilir (disitribusi, niaga, pengolahan dsb)
  3. Terjadinya ketidakmenetukan iklim investasi sektor hulu migas karena kebijakan fiscal yang  mendukung. Bahasa simpelnya: investor harus membayar lebih untuk eksplorasi wilayah cadangan minyak baru, padahal belum pasti ada atau tidak minyaknya di wilayah tersebut. Indonesia satu-satunya Negara yang menerapkan pembayaran pra-produksi
  4. Dirombak Pertamina sebagai PT (persero) lewat PP no 31 tahun 2003 juga memungkinkan privatisasi Pertamina. Intinya Pertamina bisa diperjual belikan!
  5. Birokrasi baru semakin ribet dan tidak investor friendly. Awalnya ketika UU 8/1971 diterapkan investor hanya perlu melewati satu instansi yaitu pertamina sebelum eksplorasi, namun dengan adanya UU migas investor harus melewati minimal 5 instansi sebelum melakukan pengeboran.

Masih banyak implikasi-implikasi nyata yang ditimbulkan dengan diterapkannya UU 22/2001 tentang minyak dan gas bumi yang tertuang dalam buku ini. Namun sebaiknya pembaca segera membaca secara keseluruhan isi buku sehingga pengetahuan yang didapat bisa secara holistik dan lebih komprehensif. Peresensi juga kemungkinan akan menuliskannya dalam tulisan baru yang selengkapnya bisa dilihat di akhir dari tulisan ini.

Penutup

Didalam buku ini terlalu banyak penyesalan yang diungkapkan dalam tulisan. Kata-kata “seandainya” sering kali muncul dalam parafraf-paragraf di setiap bab. Misalnya seandainya pemerintah tidak mengganti UU 8/1971 kala itu…” atau “seandainya pemerintah menerapkan kebijakan energi mix terlebih dahulu maka Negara akan bla bla…”

Oleh karena itu misal suatu saat pemerintah membaca buku ini janganlah terlalu menyesali perbuatan di masa lalu, terlepas dari alasan dan akibat yang ditimbulkan. Yang harus dilakukan pemerintah sekarang adalah secepatnya memulihkan kedaulatan nasional di bidang energi, khususnya dengan merombak UU migas dengan undang-undang baru yang lebih “merah-putih” dan tentunya diiring dengan implementasi konkrit yang sesuai dengan konstitusi pasal 33 UUD 1945. Bendera Nasional harus dikibarkan di semua produk kebijakan dan perundang-undangan di negeri ini. Jika pemerintah diam, DPR harus bergerak. Jika dua-duanya diam, rakyat akan menunggu lebih lama lagi untuk bisa menjadi tuan di negeri sendiri.[]

Resensi Buku: Neoliberalisme Mengguncang Indonesia

Mulai dari post ini, saya kedepan mencoba membuat resensi dari berbagai buku yang pernah saya baca, dan mengelompokannya dalam 1 tab. Diharap resensi-resensi yang saya buat ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekaligus untuk saya sendiri dalam menanamkan ilmu-ilmu dari buku tersebut didalam memori jangka panjang.

Resensi buku pertama yang akan saya buat adalah buku yang tidak terlalu tebal, hanya berjumlah 138 halaman yang berjudul “Neoliberalisme Mengguncang Indonesia” karya dari Syarafuddin Usman dan Isnawita. Dalam buku ini dijelaskan  mulai dari dasar-dasar pemikiran neolib itu sendiri, alur sejarah masuknya neolib ini ke Indonesia, hingga ambruknya roda ekonomi Indonesia. Pada awal buku ini sempat tertulis nama Prof. Dr. Boediono sebagai salah satu tokoh neolib di Indonesia.

Hal yang paling identik dengan neolib adalah privatisasi BUMN yang seakan-akan menjual bumi, tanah dan air Nusantara kepada pihak asing. Selain itu kebijakan penghaspusan subsidi dan pengurangan tarif pajak juga merupakan salah satu kebijakan-kebijakan ala neolib. Contohnya penaikan harga BBM yang multiflier effect-nya bukan memukul kelas menengah ke atas, tetapi justru mencekik masyarakat menengah ke bawah. Kemudian, pengurangan pajak bagi perusahaan-perusahaan besar bukan berarti terbukanya kesempatan kerja yang lebih luas, justru perusahan-perusahan besar menggunakan fasilitas tax holiday untuk memupuk laba dan menyimpannya di bank-bank luar negeri.

Awal Neoliberalisme

Neoliberalisme muncul pada akhir 1960-an yang dilatarbelakangi oleh beragam kegagalan kebijakan ekonomi teknokratis dan intervensionis yang melahirkan ketidakpuasan dan konflik kepentingan. Kemunculan neoliberalisme dipicu krisis berupa stagflasi pada 1970-an di negara-negara maju. Krisis ini meberi kesempatan kaum neolib untuk menyerang balik kubu prointevensi. Masa jaya neolib terjadi pada dekade 80-an ketika Amerika Serikat dan Inggris mengurangi peran negara dalam mengelola sektor-sektor strategis perekonomian lewat jalan deregulasi dan privatisasi. Perekomnomian Inggris membaik setelah Margareth Thatcher menjadi perdana Menteri Inggris pada 1979. Demikian pula kepemimpinan Ronald Reagan di Amerika Serikat selam dua periode (1981-1989) yang berhasil menurunkan inflasi dan pengangguran. Keduanya menerapkan kebijakan yang sama, yaitu privatisasi, deregulasi, serta pengurangan pajak dan subsidi.

Banyak negara yang berhasil menerapkan sistem ekonomi neolib, namun layaknya pedang bermata dua, banyak juga negara-negara yang melah semakin terpuruk ketika menerapkan sistem ekonomi makro ini. Dalam buku ini desbutkan negara Afrika Selatan salah satu contoh yang ekonominya semakin menurun dengan adanya neolib ini. Perkembangan kebijakan neoliberalisme di Afrika Selatan telah merontokkan tingkat pertumbuhan. Kebijakan lain seperti mempertahankan tingkat suku bunga yang tinggi untuk meredam laju inflasi justru memperburuk perekonomian. Sementara itu, kebijakan pasar bebas menyebakan meningkatnya pengangguran sejak pemerintah baru pada 1994 sehingga meningkatkan tingkat Kemiskinan di Afrika.

Neoliberalisme  dan Indonesia

Neoliberalisme jika dibahas secara mendetail sungguh sangatlah kompleks dan banyak pokok pemikiran yang perlu dicerna lebih dalam dari berbagai sejarah dan pemikiran para ekonom-ekonom besar dunia. Namun dari semua pokok pemikiran tersebut dapat diambil arti dangkalnya bahwa neolib itu adalah menerapkan sistem pasar bebas, dimana para pemilik modal bebas memiliki perusahaan, meskipun itu adalah BUMN (privatisasi). Pemilik modal ini biasa dikenal dengan pihak kapitalis.

Masuknya ekonomi liberal ini berkisar pada tahun 1870-1900 di Indonesia, dimana pihak asing bebas menyewa lahan-lahan petani. Puncaknya sekitar pada tahun 1930, penjajahan-penjajahan di Indonesia dilakukan oleh pihak asing. Dari total hasil kakayaan alam Indonesia yang berjumlah 670 Juta Gulden (Mata uang belanda kala itu), warga pribumi HANYA kecipratan sebesar 3,6 juta Gulde (0,54 %) sisanya 0,4 juta gulden warga tionghoa dan 665 juta gulden milih warga kulit putih (asing).

Setelah Indonesia merdeka presiden Soekarno memiliki pemikiran untuk merangkul negara2 bagian timur dan melepas barat. Namun sepegantinya pemerintahan Soeharto beliau lebih memilih untuk mulai merangkul barat namun tidak melepaskan yang timur. Akhirnya dikarenakan inflasi yang tinggi kebijakan yang diambil adalah peminjaman dana dengan IMF. Indonesia cukup sejahtera kala itu namun memiliki hutang dan perjanjian dengan IMF yang merugikan. Inilah permulaan dari ekonomi liberal dengan cara baru “neo” yang memungkinkan pihak asing melakukan intervensi ke Indonesia terutama dalam perusahaan2 sektor strategis.

Banyak diungkapkan sejarah-sejarah neolib di Indonesia dalam buku ini dan diungkap secara cukup detail setiap tahunnya. Meski tidak terlalu holistik dan komprehensif, namun buku ini cukup untuk menjadi bacaan bagi orang-orang yang ingin mengetahui dasar neolib.

Penutup

Untuk penutup saya dapat menyimpulkan dari buku ini bahwa bencana yang menimpa Indonesia lebih disebabkan masih berpakunya Indonesia pada makroekonomi. Padahal dalam soal ini pemerintah masih kurang lihai. Ekonominya terlalu liberal. Sehingga banyak sumber daya yang dimiliki dan dikelola perusahaan asing. Kini pemerintah dan bangsa ini harus kembali pada sumber daya alam dan ekonomi mikro. Memanfaatkan misalnya gas dan minyak bumi untuk kepentingan industri plastik, tekstil dan lain-lain. Selain itu juga perlu ditingkatkannya industri manufaktur melalui industri dasar. Jangan lagi menggantungkan kebutuhan dasar pada negara luar.

Peningkatan-peningkatan wirausahan yang membangun perekonomian dari sekala mikropun harus terus digalang dan mencapai angka 2% dari total seluruh penduduk Indonesia sebagai wirausaha. Dan yang paling penting adalah pemberantasan besar-besaran praktek KKN yang semakin menguntungkan pihak-pihak tertentu. Kembalikanlah perekonomian sesuai pasal 33 UUD 45, yaitu segala kekayaan alam Indonesia mutlak untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.